Kesuksesan Gravity dua tahun lalu membuat film-film bertema penjelajahan luar angkasa popular belakangan ini. Kalau disimak semenjak kesuksesan Gravity ada satu film bertema penjelajahan luar angkasa (dan berbudget besar) yang dirilis tiap tahun. Gravity di tahun 2013, Interstellar di tahun 2014, dan di tahun ini ada The Martian. Ketiganya pun digawangi oleh sutradara-sutradara dengan nama besar. Setelah Alfonso Cuaron dan Christopher Nolan, sekarang giliran Ridley Scott yang menjajalnya.
Di masa depan teknologi manusia makin maju sehingga mereka sukses bisa pergi ke planet Mars. Di tengah berlangsungnya proyek Ares III terjadi sebuah badai Mars buruk yang menyebabkan seorang awak kapal: Mark Watney terpisah dari rombongannya dan disangka tewas. Karena keadaan badai terus memburuk, roket terpaksa meluncur kembali ke bumi. Tak disangka, Mark sebenarnya belum tewas dan selamat setelah badai berlalu.
Keajaiban Mark bertahan hidup tak berarti semua lantas lancar-lancar saja. Planet Mars bukanlah planet seperti bumi dan persediaan makanan serta kehidupan bagi Mark hanya tersisa beberapa puluh hari saja. Lebih gawatnya lagi, semua orang di bumi menyangka ia sudah mati yang artinya pertolongan tidak akan datang. Lebih gawatnya kali dua, bilapun mereka tahu, bantuan tak bisa datang dengan cepat begitu saja… jarak bumi dan Mars – walau dengan teknologi manusia yang ada saat itu, masih perlu waktu tahunan untuk mencapai Mark.
Bagaimana Mark bisa selamat menghadapi besarnya cobaan yang nyaris seperti mustahil itu?
The Martian diangkat dari novel oleh pengarang Andy Weir. Saya sebenarnya cukup lama mengenal Weir yang pernah menulis cerpen sci-fi populer The Egg. Konsepnya yang cerdas dan berbeda dengan kebanyakan cerpen populer membuat saya selalu teringat akannya. Dan seperti halnya The Egg, The Martian juga memiliki jalan cerita yang berbeda dari film-film petualangan luar angkasa biasanya.
Karakter Mark di sini misalnya selalu dipenuhi dengan optimisme. Saya tidak berkata ia orang yang terlalu berlebihan gembira seperti orang sinting… tetapi ia adalah orang yang tahu betapa buruknya keadaan dan situasi yang ia hadapi tetapi bukannya menyerah, ia justru memutar otak untuk mencari cara bagaimana mengatasi keadaan itu. Optimisme dan semangat Mark mencari jalan keluar akan masalah yang ia hadapi seperti menular dan menginspirasi saya. Tidak banyak film yang membuat saya bertanya setelah selesai menonton “Kenapa mudah menyerah kalau ternyata ada banyak jalan keluar yang bisa didapat asalkan mau kreatif?”
Tak hanya apik secara pesan moral dan ceritanya saja, film ini juga diberkahi oleh talenta Ridley Scott dalam mengambil panorama-panorama planet Mars yang indah. Dalam karirnya selama lebih dari empat dekade Ridley Scott telah menyutradarai berbagai macam genre film tetapi sepertinya memang dua genre yang paling ia kuasai adalah medieval dan sci-fi. Jangan heran kalau film ini menjadi jagoan dari Ridley Scott masuk dalam ajang penghargaan Oscar nantinya. Lansekap Mars dan eksposisi kesendirian Mark di planet ini semua dikontraskan dengan apik olehnya.
Satu hal lagi yang tak boleh dilupakan adalah betapa bagusnya aransemen lagu-lagu film ini. Rasanya terakhir bisa goyang-goyang kepala sambil tersenyum lebar mendengarkan montage lagu dalam film ini adalah Guardians of the Galaxy dulu. Ayolah, perasaan kalian pasti sudah mati kalau dalam sekuen Starman film ini kalian tidak tersenyum lebar selebar-lebarnya!
The Martian, singkatnya, adalah salah satu film terbaik yang saya tonton tahun ini. Selain beberapa adegan yang sedikit dragging dan bisa dipangkas untuk waktu tayang yang lebih efisien, saya sangat merekomendasikan film ini kepada siapapun yang percaya pada sains.
Score: A-