Jangan tanya kenapa – yang jelas Jack Black tidak pernah menjadi komedian favorit saya. Bahkan ketika orang mengelu-elukan dia dalam Nacho Libre dan School of Rock pun hati saya tetap dingin-dingin saja menontonnya. Dalam Year One saya lebih tergelitik dengan ulah Michael Cera ketimbangnya. Kini Gulliver’s Travel muncul dan bisakah pada akhirnya Jack Black memuaskanku melalui komedi real lifenya (harus saya akui Kungfu Panda berhasil menghiburku)?
Saya rasa semua orang mestinya sudah tahu kisah klasik Gulliver’s Travel karangan Jonathan Swift walau tak pernah membaca novelnya. Intinya kisah petualangan seorang manusia raksasa di tengah dunia berisi manusia kecil ala liliput. Konon karena kesuksesan Night at the Museum yang menghadirkan Ben Stiller di tengah (beberapa) manusia mini menjadi motivator studio film 20th Century Fox memberi proyek ini lampu hijau. Film ini diberi sentuhan modern pada abad ini.
Lemuel Gulliver seumur hidupnya adalah seorang pengantar surat di redaksi penerbitan. Ia memendam rasa suka kepada seorang atasannya: jurnalis Darcy Silverman tetapi selalu malu (minder?) untuk mengakui perasaannya. Akhirnya saat mau berubah sifat, Gulliver justru membuat cerita tipu-tipuan dan mengaku jago menulis kisah petualangan. Darcy percaya dan mengirimnya untuk meliput kawasan segitiga Bermuda yang konon angker. Kapal milik Gulliver pun diterbangkan ke atas langit oleh air bah dan ia tak sadarkan diri.
Saat Gulliver sadar kembali ia sudah dikelilingi para manusia kecil di sebuah kerajaan bernama Liliput (dan manusia kecil itu disebut Lilipudian). Semula dianggap musuh, Gulliver kemudian menjadi pahlawan yang menyelamatkan para manusia kecil tersebut. Dielu-elukan membuat Gulliver lupa diri. Ia membuat banyak kawan baru seperti Liliput Horatio dan Putri Kerajaan Liliput Mary. Akan tetapi semua kisah hidup yang diceritakan oleh Gulliver hanya bohong-bohongan. Akankah ia kena getahnya nanti? Bisakah Gulliver menemukan keberanian dalam dirinya untuk keluar dari tempurungnya?
Sejujurnya saya tidak peduli dengan jawaban-jawabannya. Gulliver’s Travel memiliki premise yang klasik dan klise memang tetapi itu bukan berarti ia tidak bisa memenangkan hati penonton. Pada awal-awalnya film ini sempat memiliki secercah harapan dengan Gulliver terlihat menyesal. Tetapi begitu sampai ke pulau liliput ia lagi-lagi kembali sebagai sosok Jack Black yang standar – dengan kata lain: menyebalkan. Penampilan karakter-karakter lain seperti Jason Segel dan Emily Blunt pun tak banyak membantu. Jason Segel adalah komedian yang berpengalaman tetapi ia sekalipun tak bisa berbuat banyak dengan naskah yang dangkal. Apalagi Emily Blunt dan Amanda Peet; mereka praktis cuma jadi penyedap layar. Sedikit berhasil mengocok perut penonton adalah sang Jendral Edward yang arogan dan hiperbola tingkah lakunya.
Saya merasa bahwa film yang kebanyakan jokenya dari parodi adalah film yang malas untuk kreatif. Dan Gulliver’s Travel kebanyakan mengacu pada humor ini. Secara mentah-mentah dan tak tahu malu film-film lama 20th Century Fox macam Star Wars, Titanic, sampai Avatar disebut-sebut dan secara terang-terangan ditiru. Aduh duh, itulah jenis parodi yang membuatku muak. Ayolah Jack Black, kamu setidaknya bisa lebih bagus dari ini kan? Dan kenapa sih dialog dalam film ini amat sangat banyak mereferensikan ‘little’ dan ‘big’ dengan segala variasinya? Seakan-akan penulis skenario ingin menghujamkan kepada penonton Gulliver’s Travel ini mengenai kisah ukuran seseorang. It’s not smart and it’s lazy lazy writing.
So my verdict is… sebuah film komedi yang kebanyakan mengandalkan humor slapstick dan parodi tidak lucu. Lagi-lagi film Jack Black yang gagal menghiburku. Ah setidaknya Kungfu Panda 2 tinggal setengah tahun lagi sebelum tayang.
Score: D