Siapa yang tidak kenal novel The Little Prince?
Saya percaya bahwa semua pecinta literatur tentunya pernah membaca karya legendaris dari Antoine de Saint-Exupery ini. Buku The Little Prince ini memang sangat legendaris sebagai buku non-Inggris paling banyak diterbitkan dan terjual di seluruh dunia. Kisah narasi sampai pesan yang dibawakan oleh Saint-Exupery sepertinya tidak lekang dimakan oleh jaman sehingga generasi demi generasi baru terus menemukan nilai magis tiap membaca karya ini.
Oleh karena kepopuleran itu juga tidaklah mengherankan bahwa The Little Prince juga sudah diadaptasi dalam berbagai format. Sebut saja pertunjukan theater, film, sampai drama radio. Sekarang sutradara Mark Osborne (paling terkenal menggarap Kungfu Panda-nya Dreamworks) menggarap film ini dengan memberinya sebuah twist; memodernisasi ceritanya. Apakah berhasil?
Di tengah dunia yang makin padat dengan kegiatan, apakah kita semua lupa artinya menikmati hidup?
Pertanyaan ini sepertinya klise tetapi diangkat oleh film ini dengan cara yang menarik. Seorang gadis kecil mendapatkan tekanan yang besar dari ibunya (seorang single parent) yang berpendapat bahwa pendidikan yang tinggi dan baik adalah satu-satunya jalan menuju kesuksesan dan mendapatkan kehidupan yang bahagia. Begitu tegas dan fokusnya sang ibu, sang anak seperti terhimpit oleh jadwal kehidupannya sehari-hari, sampai ia bertemu dengan tetangganya yang nyentrik.
Tetangga tua yang nyentrik ini gemar membuat dan memperbaiki (tetapi selalu saja gagal) pesawat terbangnya. Gara-gara berkenalan dengan sang tetangga tua ini si gadis cilik mulai mengabaikan jadwalnya sehari-hari untuk belajar dan mulai bersenang-senang menikmati hidupnya. Ia banyak mendengar cerita dan petualangan dari si Pak Tua ini, termasuk pengalaman si Pak Tua bertemu dengan seorang Pangeran Muda di Padang Pasir… The Little Prince. Pelajaran apa yang bisa dipetik oleh si gadis cilik untuk diaplikasikan sendiri ke dalam hidupnya?
Dan pelajaran apa yang bisa dipetik oleh penonton dari film ini?
Sejujurnya saja The Little Prince bukanlah sebuah film yang ringan untuk ditonton oleh anak-anak. Ketika saya pertama membaca bukunya – hampir lima tahun yang lalu – saya bahkan tak menyukainya karena menganggap ceritanya terlalu bertele-tele dan tidak masuk akal. Baru ketika membacanya ulang sekali lagi, dua kali lagi, tiga kali lagi, saya menyadari ada suatu nilai baru yang terus saya petik dari dalamnya. Saya melihat bahwa hal tersebut tak sepenuhnya berhasil diangkat oleh Mark Osborne dalam film ini.
Osborne sepertinya tidak berani 100% mengikuti novel The Little Prince untuk alasan-alasan yang masuk akal. Pertama saya yakin ia khawatir kalau sekedar mengadaptasi novelnya saja maka film ini akan menjadi film yang terlalu pendek. Lagipula kisah novel yang berjalan secara abstrak akan terlalu sulit untuk dibuatkan narasinya. Oleh karena itu Osborne menciptakan karakter baru seperti si gadis cilik dan ibunya, untuk menjadi jembatan penonton ke dalam dunia The Little Prince. Dan untuk setengah awal film ia cukup berhasil.
Baru ketika film ini memasuki pertengahan lantas klimaks, Osborne seperti kesulitan menyatukan dua narasi fantasi dan realistis yang tadinya ia pisahkan dengan penyekat. Ketika penyekat itu runtuh, transisi narasinya tak seberapa bagus menyambung. Untung saja paling tidak esensi dari apa yang ingin disampaikan oleh Saint-Exupery dalam novelnya tetap dapat tersampaikan di film ini – walaupun dengan cara penuturan yang lebih sederhana.
Terlepas dari jalan ceritanya sendiri The Little Prince adalah animasi yang cukup cantik secara audio visual. Dari segi visualnya ia digambarkan dengan dua gaya animasi: pertama dalam model CG bagi jalan cerita utamanya tetapi yang paling aduhai tentunya adalah teknik stop-motion animasi untuk bagian penceritaan The Little Prince, seperti melihat ilustrasi dalam novelnya dihidupkan. Tambahan musik gubahan Richard Harvey dan Hans Zimmer semakin menghidupkan setiap adegan-adegan dalam film ini. Indah… cantik.
Sekali lagi The Little Prince bukan sebuah film yang bisa dimengerti oleh anak-anak generasi ini, yang sudah biasa terbius dengan animasi gampangan ala Frozen atau Big Hero 6 (saya tidak bilang animasi-animasi itu jelek, tetapi gampang dicerna). Film The Little Prince berani mengangkat topik-topik dewasa dan saya rasa sudah sepantasnya begitu karena novel asalnya pun adalah buku orang dewasa yang menyamar dalam bentuk buku anak-anak… mungkin memang orang dewasa tak selalu harus tumbuh dewasa dan melupakan masa kanak-kanak.
Score: B